Tanggapan Dosen Program Studi Ilmu Hukum Tata Negara Universitas Sulawesi Barat untuk Putusan MK

MAMUJU — Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 114/PUU-XXIII/2025 yang mewajibkan anggota Polri mundur atau pensiun ketika menduduki jabatan di luar institusi kepolisian, langsung memantik reaksi dari berbagai kalangan, terutama akademisi dan praktisi hukum. Sorotan tajam datang dari Dr. Dian Fitri Sabrina, S.H., M.H., dosen Hukum Tata Negara Universitas Sulawesi Barat, yang menilai putusan ini sebagai alarm penting bagi pemerintah untuk segera membenahi regulasi mengenai Polri.

Menurut Dr. Dian, putusan MK tersebut harus dipandang sebagai momentum besar untuk mempertegas batasan, kewenangan, serta posisi Polri dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Ia menegaskan bahwa pembentukan dan revisi Undang-Undang (UU) Polri harus dilakukan dengan keseriusan penuh.

“Perlu ada pertimbangan-pertimbangan lain dan keseriusan pemerintah terhadap pembentukan UU Polri,” ujarnya.

Dr. Dian menyoroti bahwa revisi UU Polri harus mengutamakan prinsip rule of law, checks and balances, suppression of power, serta prinsip demokrasi. Tanpa itu, katanya, UU Polri berpotensi tumpang tindih dengan UU lain seperti UU ASN, yang selama ini memunculkan interpretasi keliru terhadap posisi Polri.

Ia menegaskan bahwa kedudukan Polri dan TNI sangat jelas dipisahkan oleh Pasal 30 UUD 1945, sehingga tidak bisa disamakan dengan ASN ataupun institusi lainnya.

“Banyak argumentasi yang menyatakan bahwa UU Polri ini hampir sama dengan UU ASN, sehingga putusan MK ini dianggap bisa digunakan karena mengacu pada UU ASN. Padahal Pasal 30 UUD jelas menyatakan kedudukan Polri dan TNI itu terpisah,” jelasnya.

Pemisahan kedudukan tersebut, lanjut Dr. Dian, memiliki implikasi penting, termasuk dalam konteks pertanggungjawaban hukum. Status seseorang sebagai aparat sipil, Polri, atau militer akan menentukan mekanisme hukum yang berlaku ketika terlibat tindak pidana.

Ia menegaskan kembali bahwa tiga prinsip utama—rule of law, checks and balances, dan suppression of power—harus menjadi fondasi utama dalam revisi UU Polri agar tidak menimbulkan kekacauan kewenangan dan potensi penyalahgunaan kekuasaan.

“Jadi, perlu dipertimbangkan tiga prinsip yang disebutkan tadi dalam revisi UU Polri,” pungkasnya.

Putusan MK ini diharapkan menjadi pemicu bagi pemerintah dan DPR untuk bergerak cepat menyusun regulasi yang lebih jelas dan demokratis, sehingga keberadaan Polri sebagai penjaga keamanan dan pelindung masyarakat tetap kokoh dalam koridor supremasi hukum dan tata negara yang benar.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *